=====
Ibarat kanker, polusi udara di
Tak berlebihan jika polusi udara perlu dilawan dengan serius karena, meminjam slogan sebuah kampanye udara bersih, we can’t stop breathing even the air is polluted. Kita bisa memilih makanan yang akan kita santap atau air yang akan kita minum, tapi kita tak bisa memilih udara yang akan kita hirup.
Menurut data
Sumbangan polutan ini dua kali lebih besar dari cemaran serupa yang ditimbulkan oleh cerobong asap kegiatan industri. Selain karena jumlah kendaraan yang berjibun, parahnya polusi ini juga disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang sistem pembakarannya tidak efisien.
Pada uji emisi, ada
Pada saat uji emisi di bengkel, semua parameter di atas diperiksa. Tapi dari beberapa parameter itu, yang punya
Untuk lebih detail,
· CO2
Sebagaimana kita ketahui, bensin atau solar berisi bermacam-macam campuran senyawa HC (ikatan antara karbon dan hidrogen). Supaya bisa menghasilkan energi, senyawa HC itu harus dibakar dengan oksigen (O2).
Jika proses pembakaran terjadi dengan sempurna, ikatan hidrogen dan karbon itu akan dipecah oleh oksigen. Atom karbon dari bensin atau solar itu akan berubah menjadi karbon dioksida (CO2). Sementara atom hidrogen akan menghasilkan air (H2O).
Secara alamiah, karbon dioksida bukanlah gas beracun. Gas ini lazim terlibat di dalam proses metabolisme tubuh manusia. Dalam kaitannya dengan uji emisi, gas ini diperiksa semata-mata karena alasan teknis. Jika kandungannya di dalam asap terlalu kecil, berarti proses pembakaran tidak berlangsung sempurna.
Tak ada batasan pasti
· CO
Indikasi lain dari pembakaran yang tidak efisien adalah timbulnya gas-gas beracun di dalam asap. Sebagai contoh, jika jumlah oksigen kurang, atom karbon akan kekurangan atom O sehingga produk akhirnya bukan lagi karbon diokisda (CO2), tapi karbon monoksida (CO). Bagi manusia, senyawa terakhir ini tergolong gas beracun karena bisa membuat penghirupnya kekurangan oksigen.
· HC
Jika pembakaran berlangsung sempurna, HC dari BBM akan habis terbakar. Tapi jika proses di ruang bakar tidak efisien, sisa HC yang tidak terbakar akan keluar bersama asap knalpot.
Semakin banyak sisa HC di asap knalpot, berarti proses pembakaran semakin tidak efisien. Ketika masih berada di tangki bahan bakar, HC adalah senyawa berguna yang akan menghasilkan energi. Tapi ketika ia keluar bersama asap, statusnya tak
Begitu lolos dari knalpot, ia bukan hanya mubazir tapi juga bisa mengiritasi mata atau mengganggu sistem pernapasan ketika terisap ke dalam paru-paru. Lebih dari itu, paparan HC tertentu dalam jangka panjang diduga bisa meningkatkan risko kanker paru. Itu sebabnya, kandungan HC di dalam asap juga merupakan salah satu parameter penting yang diperiksa saat uji emisi.
Jika kadarnya kelewat tinggi, berarti pembakaran tidak berlangsung tuntas.
· Lambda
“Jika lebih besar dari satu, berarti konsumsi bahan bakar lebih irit,†terang
· NOx
Produk lain dari pembakaran yang tidak normal adalah timbulnya gas oksida nitrogen (NOx). Senyawa ini diberi notasi “x†karena bentuknya bisa berupa NO atau NO2.
Nitrogen ini tidak berasal dari bensin atau solar, tapi dari udara yang masuk ke dalam ruang pembakaran. Dalam kondisi normal, nitrogen (N2) tergolong senyawa inert yang stabil. Ia tak gampang bereaksi dengan oksigen.
Tapi jika mesin mengalami overheat, sifat inert ini tak lagi bisa dipertahankan. Dalam kondisi tekanan mampat dan temperatur tinggi, senyawa nitrogen akan terurai dan berikatan dengan oksigen menjadi NOx. Produk gas beracun inilah yang akan keluar dari ujung knalpot sebagai gas buangan.
Secara alamiah, gas nitrogen termasuk komponen normal udara yang kita hirup. Tapi ketika berbentuk oksida, gas ini bersifat racun, bisa mengiritasi paru-paru dan memperberat penyakit pernapasan. Itu sebabnya, kandungan NOx juga merupakan salah satu parameter penting yang diuji.
· Partikulat
Khusus mesin berbahan bakar solar, masalah emisi bertambah satu lagi yaitu partikulat. Mirip emisi hidrokarbon, partikulat adalah komponen dari solar yang tidak ikut terbakar. Masalah ini khas terjadi pada mesin diesel karena solar merupakan fraksi BBM yang mengandung lebih banyak komponen tak terbakar dibandingkan bensin.
Secara sederhana, opasitas ini bisa dilihat dari tampilan visual kekeruhan asap. Meski begitu, kata Anang, kita tidak bisa menilai baik-buruknya gas buang dari kepekatan warna asap saja. Asap putih tidak otomatis emisinya pasti lebih baik daripada asap hitam. Pasalnya, penyumbang utama warna asap adalah partikulat. Sementara, gas-gas beracun lainnya seperti CO atau NOx tidak berwarna. Padahal keduanya jauh lebih berbahaya daripada partikulat.
Begitu pula kita tak bisa menilai baik-buruknya emisi dari umur kendaraan. Mobil-mobil tua tidak selalu emisinya lebih buruk dari mobil baru. “Asal perawatan bagus, mobil tua pun tetap bisa lulus uji emisi,†kata Anang. Ini memang terbukti, banyak mobil lawas buatan sebelum 1986 lulus saat uji emisi massal yang beberapa kali diselenggarakan secara gratis
Walhasil, agar emisi tetap terjaga baik, kunci utamanya adalah perawatan. Selain itu, Anang juga memberi patokan sederhana. Ketidakberesan emisi biasanya dapat dirasakan pemilik kendaraan dari konsumsi bahan bakar. Irit tidaknya kendaraan umumnya berkorelasi langsung dengan kinerja mesin. Jika frekuensi pergi ke SPBU mulai meningkat, itu pertanda pembakaran tidak lagi efisien.
Dengan kata lain, mesin perlu dibawa ke bengkel untuk disetel ulang.
Boks-1
Bicara soal uji emisi, kadang sebagian orang mengacaukan aturan uji emisi Pemprov DKI Jakarta dengan Euro-2. Keduanya sama-sama uji emisi tapi menggunakan standar
Sedangkan Euro-2 adalah standar uji emisi untuk kendaraan yang hendak dijual dan merupakan kewajiban produsen. Prosedurnya pun lebih sulit. Pada Euro-2, kendaraan diperiksa emisinya dalam sebuah simulasi, mirip ketika ia dipakai di jalan raya.
Aturan Euro-2 ini bersifat nasional dan mulai berlaku untuk semua mobil yang diproduksi mulai tahun 2005. Karena aturannya lebih ketat, mobil sistem karburator dipastikan tidak akan lolos uji. “Dengan standar Euro-2, mobil-mobil baru nanti akan makin irit,†jamin Anang.
Boks-2
| |
| |||
Batas maks. CO | Batas maks. HC | Batas mask. opasitas | |||
Bahan bakar/ mesin | Tahun produksi |
| |||
Bensin/ sistem karburator | 1985 dan sebelumnya | 4% | 1.000 ppm | |
|
1986 – 1995 | 3,5% | 800 ppm | |
| |
1996 dan sesudahnya | 3% | 700 ppm | |
| |
Bensin/ sistem injeksi | 1986 – 1995 | 3% | 600 ppm | |
|
| 1996 dan sesudahnya | 2,5% | 500 ppm | |
|
Solar | 1985 dan sebelumnya | | | 50% |
|
| 1986 – 1995 | | | 45% |
|
| 1996 dan sesudahnya | | | 40% |
|